Tahun pelajaran 2022/2023 ini menjadi sejarah baru dalam perjalanan
saya menjadi seorang guru. Mengapa demikian ? Karena pertama kali saya mengajar
pada jenjang sekolah yang berbeda dan saya dipindah tugaskan di lingkungan yang
baru saya kenal. Saya mendapatkan amanah untuk mengajar Kelas 3 di UPTD SD
Negeri 33 Mendo Barat. Anak-anak hebat yang sungguh setiap hari menginspirasi
dan memotivasi saya untuk datang ke sekolah walau jarak yang saya tempuh setiap
harinya 54 KM untuk dapat menuju ke sekolah yang terletak di perbatasan antara
Bangka Induk dan Bangka Tengah ini.
Mempelajari Modul 1 membawa saya pada salah satu harapan dan
keinginan untuk mengubah cara mengajar saya di kelas. Saya bertekad untuk mengawali
langkah ini dengan mengenal siapa murid yang saya ajar ? Apa yang mereka sukai
? Apa yang mereka butuhkan ? Apa yang mereka harapkan dari saya sebagai gurunya
? Semua pertanyaan itu saya tuangkan dalam sebuah Asesment Diagnostik Non
Formatif yang selama 1 minggu saya rancang sendiri. Mengapa Asesment
Diagnostik Non Formatif menjadi pilihan saya ? Karena berdasarkan pelatihan
mandiri yang saya ikuti dan mempelajari Modul 1 di PGP ini, mengetahui
kebutuhan murid itu yang utama. Ketika kita mengetahui apa yang mereka butuhkan
maka, sebagai guru akan lebih mudah dan terarah dalam merancang pembelajaran
selanjutnya. Asesmen ini saya buat sesuai dengan kebutuhan para murid kelas
saya dan diisi oleh murid juga orangtuanya di rumah. Bahkan saya mengundang para
orangtua ke kelas 3 untuk menjelaskan tujuan, manfaat, dan cara pengisian asesemen
ini.
Hasil Asesment Diagnostik Non Formatif ini menjadi
acuan untuk mempermudah saya dalam melayani para murid yang memiliki
keberagaman berbeda-beda. Setelah Asesment Diagnostik Non Formatif dikembalikan
lagi kepada saya dan dianalisis, gambaran secara umum dari para murid dan
orangtua adalah melihat anak-anaknya bahagia. Sederhana namun, penuh makna.
Asesmen ini juga menjadi acuan untuk saya dalam membuat beberapa kegiatan kelas
3. Mulai dari Kesepakatan Kelas, Operasi Semut, Pemilihan Ketua Kelas secara
berkala, Program CUAN (Curhat Anak), menambahkan minat dan bakat juga menonton
bersama pada jadwal pelajaran, belajar di alam terbuka, dan lainnya. Saya juga
membuat Dinding Literasi yang ditempel semua karya anak, tulisan motivasi, ilmu
tentang alam dan sosial, dan sebagainya.
Saya memfokuskan kegiatan yang dilakukan berdasarkan aset terbesar
yang dimiliki kelas yaitu anak-anak hebat ini. Bangunan kelas yang belum
maksimal dan sarana prasarana sekolah belum memadai bukan menjadi penting
ketika semangat belajar ini tumbuh bersama senyum anak-anak dan dukungan para
orangtuanya.
Ketika mengetahui bagaimana murid saya, ada beberapa tindakan
saya yang pastinya berbeda kepada mereka. Hal ini bukan karena perlakuan tidak
adil namun, dilakukan semata-mata karena ada beberapa murid yang butuh perhatian
khusus untuk lebih mengenalnya. Termasuk murid yang tidak naik kelas, murid
yang kategori ABK, dan murid yang mendapat kekerasan di rumahnya.
Awal saya masuk ke kelas, saya melihat murid-murid terbiasa
untuk menuduh temannya melakukan sesuatu yang sebenarnya bukan dilakukan oleh
temannya. Contohnya saat ditemukan sapu patah, saya bertanya : “Siapa yang
melakukannya?” Beberapa murid menunjuk pada 1 temannya yang tinggal kelas itu,
sehingga saat saya menyelesaikan masalah ini saya dapati bukan murid itu yang
melakukannya. Hal ini terus terjadi dengan beberapa masalah yang berbeda,
seolah murid itu menjadi pelaku utamanya. Akhirnya..perlakuan murid-murid mulai
berubah ketika ada satu kejadian yang membuat mereka kagum. Hari itu kelas kami
bocor karena hujan dan menyebabkan lantai tergenang air sehingga, kami pindah
ke ruang kelas di sebelah. Kami pun gotong royong membersihkan kelas baru termasuk
area plafon yang sulit digapai murid-murid. Saya naik meja dan memegang sebuah
sapu untuk membersihkannya. Tiba-tiba dari arah samping kanan saya, seorang
murid berkata : “Sini bu..saya aja yang melakukannya.” Sungguh hal yang
sangat luar biasa dan hari itu saya bersama semua temannya melihat begitu
gagahnya dia membersihkan kelas, mendorong papan pembatas kelas, dan pekerjaan
yang membutuhkan tenaga yang besar.
Tantangan terbesar saya adalah membiasakan para murid
melakukan tindakan positif yang muara akhirnya budaya positif. Mereka terbiasa
dengan gaya lama ditambah dengan perbedaaan lingkungan sekolah dan rumah sehingga
mereka kesulitan untuk konsisten melakukan sesuatu. Contohnya anak yang selalu
mendapat Juara 1 di kelas bertanya mengapa saya jarang memberikan PR untuk
dikerjakan di rumah. Saya pun bertanya balik mengapa harus ada PR ? Dia berkata
bahwa dia suka dengan nilai 100 di bukunya. Namun saat ada perlombaan di
sekolah, dia tidak jadi juara dan saya dapati dia menangis di dalam kelas. Saya
berpikir apakah para murid terbiasa dengan prestasi akademik saja ? Bagaiman
dengan non akademik ? Bagaimana dengan karakter baik yang saya dapati dari
seorang murid tidak naik kelas namun, hingga detik ini setiap saya pegang sapu
dia menjadi orang pertama yang menawarkan bantuan kepada saya ?
Hal-hal yang saya lakukan di kelas adalah hal baru untuk para
anak dan orangtua. Tidak mudah untuk mereka beradaptasi dengan gaya baru ini
namun, saya percaya ketika pembelajaran yang dipersiapkan mengakomodir
kebutuhan murid maka, esensi dari pembelajaran di sekolah akan bermakna bagi
para murid.
Menurut pendapat saya, pembelajaran yang mampu mengakomodasi
tantangan yang terkait keberagaman murid harus dirancang, dilaksanakan, dan dievaluasi
dengan langkah utama yang tepat. Diagnosa kebutuhan murid menjadi awal dan
sangat penting, setelah itu sebagai guru kita akan punya arah jelas bagaimana
pembelajaran selanjutnya dan evalusi terus dilakukan baik itu selama proses
pembelajaran dan di akhir pembelajaran.
Mari…selalu semangat belajar untuk kita semua dan salam
bahagia…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar