Praktik Coaching bersama Rekan CGP di Ruang Virtual (Doc. Pribadi)
Masuk dibagian akhir dari Modul 2 yaitu Modul 2.3
Coaching Untuk Supervisi Akademik. Jika menelaah lebih jauh di sepanjang perjalanan
12 tahun lebih menjadi seorang guru maka, supervisi akademik bukanlah hal yang
asing. Supervisi akademik menjadi agenda rutin yang dilaksanakan oleh kepala
sekolah di satuan pendidikan. Tujuan dari supervisi akademik tertuang dalam dalam
standar proses pada Standar Nasional Pendidikan pasal 10 ayat 2 dan pasal 20
ayat 2, untuk memastikan pembelajaran yang berpihak pada murid dan pengembangan
kompetensi diri dalam setiap pendidik di sekolah.
Rangkaian supervisi akademik dilaksanakan sebagai proses pengembangan kompetensi diri dan senantiasa memiliki growth mindset, serta berpihak kepada murid. Semua ini dapat terwujud jika pemimpin sekolah dapat mengidentifikasikan kebutuhan pengembangan kompetensi diri dan orang lain dengan menggunakan pendekatan yang sesuai dengan kebutuhan tersebut. Pendekatan yang digunakan haruslah berangkat dari paradigma berpikir yang memberdayakan agar dapat berjalan secara berkelanjutan dan terarah. Salah satu pendekatan yang memberdayakan itu adalah coaching.
Pada ruang kolaborasi kali ini saya bersama satu teman CGP melakukan
percakapan coaching di ruang virtual pada ruang kolaborasi sesi praktik Kamis
/ 29 September 2022 lalu. Sebelum membahas lebih jauh hasil dari praktik coaching
yang telah dilaksanakan, akan dibahas terlebih dahulu pengertian coaching
itu sendiri beserta komponen yang diperlukan untuk meningkatkan keterampilan coaching
kita.
Coaching didefinisikan sebagai sebuah proses kolaborasi solusi, berorientasi pada hasil dan sistematis, dimana coach memfasilitasi peningkatan atas performa kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan pertumbuhan pribadi dari coachee (Grant, 1999). Sedangkan coaching menurut Whitmore (2003) adalah sebagai kunci pembuka potensi seseorang untuk memaksimalkan kerjanya.
Coaching menuntun coachee menemukan ide baru untuk mengatasi tantangan yang dihadapi dalam mencapai tujuan yang dikehendaki serta membangun hubungan kemitraan yang setara. Kemudain coachee sendiri berperan dalam pengambilan keputusan dari masalah yang sedang dihadapinya.
Paradigma berpikir coaching sangat diperlukan coach dalam membantu coachee mengembangkan kompetensi dirinya dan menjadi otonom. Otonom yaitu dapat mengarahkan, mengatur, mengawasi, dan memodifikasi diri secara mandiri. Adapun paradigma berpikir coaching :
ü Fokus pada Coachee
Paradigma berpikir pertama pastinya fokus pada coachee/rekan sejawat
yang akan dikembangkan. Sebagai coach kita memusatkan perhatian pada rekan,
bukan pada situasi yang dibawa dalam percakapan.
ü Bersikap Terbuka dan Ingin Tahu
Kita perlu berpikir terbuka
dan ingin tahu dengan berusaha tidak menghakimi, melabel, atau berasumsi
pemikiran orang lain. Mampu menerima pemikiran orang lain dengan tenang dan
tidak emosional.
§ Memiliki Kesadaran Diri yang Kuat
Kesadaran diri yang kuat membantu kita untuk bisa
menangkap adanya perubahan yang terjadi selama pembicaraan dengan rekan sejawat.
§
Mampu Melihat Peluang Baru dan Masa Depan
Kita harus mampu melihat
peluang perkembangan yang ada dan juga bisa membawa rekan sejawat berfokus dalam
menemukan solusi dari permasalahan yang sedang dihadapi.
ICF (International Coaching Federation) mendefinisikan 3 prinsip coaching, yaitu :
Hubungan antara coach dan coachee
adalah kemitraan. Artinya setara, tidak ada yang lebih tinggi maupun lebih rendah. Setara dapat dibangun dengan cara
menumbuhkan rasa percaya diri dan rendah hati kita demi mengedepankan tujuan
rekan yang akan dikembangkan ini.
ü Proses Kreatif
Proses kreatif ini
mengantarkan sesorang pada situasi dia saat ini ke situasi ideal yang
diinginkan pada masa depan. Hal ini dapat terlihat ketika coach melakukan
percakapan dua arah, memicu proses berpikir coachee, dan memetakan situasi
untuk mengasilkan ide-ide baru bagi coachee.
ü Memaksimalkan Potensi
Hasil akhir yang memberdayakan
rekan adalah mengakhiri percakapan dengan suatu rencana tindak lanjut yang
diputuskan oleh coachee sendiri serta kesimpulan yang didapatnya.
Menurut ICF, ada 3 dari 8 Kompetensi inti dari keterampilan coaching yang perlu dipahami, diterapkan, dan dilatih secara terus menerus saat melakukan percakapan coaching kepada rekan sejawat. Kompetensi inti itu adalah sebagai berikut :
Kemampuan untuk bisa hadir utuh bagi coachee baik
itu badan, pikiran, dan hati. Harapan dari kesadaran penuh adalah untuk
membantu munculnya paradigma berpikir
dan kompetensi lain saat kita melakukan coaching.
Biasa kita sebut kemampuan
dalam menyimak. Dalam percakapan coaching, fokus dan pusat komunikasi
adalah coachee (mitra bicara). Sebagai coach harus benar-benar
menghilangkan asumsi pribadi, melabel, dan asosiasi / mengaitkan dengan
pengalaman pribadi.
ü Mengajukan Pertanyaan Terbuka
Pertanyaan yang diajukan oleh coach
diharapkan menggugah orang untuk berpikir dan dapat menstimulusi pemikiran coachee,
memunculkan ide-ide baru yang dapat mendorong untuk membuat sebuah aksi bagi
pengembangan diri dan kompetensi.
Alur percakapan coaching akan menjadi efektif dan bermakna dengan
menggunakan alur TIRTA. T (Tujuan) menyepakati topik pembicaraan dan hasil
pembicaraan. I (Identifikasi) menggali dan dan memetakan situasi saat ini yang
dihubungkan dengan fakta-fakta yang ada, R (Rencana aksi) mengembangkan ide
untuk alternatif rencana aksi. TA (Tanggung jawab) berkomitmen akan langkah
selanjutnya. Alur TIRTA inilah yang saya gunakan dalam praktik coaching
yang telah saya lakukan bersama rekan sejawat di ruang virtual.
Saya berperan sebagai coach dan teman CGP sebagai coachee. Kami melakukan sesi latihan di ruang virtual di hari sebelumnya dan mempraktikkan hasilnya di hari kedua Ruang Kolaborasi Kamis / 29 September 2022. Adapun hasil praktik coaching yang telah kami lakukan tersedia di channel Youtube :
Hal menarik yang
saya dapatkan dari Ruang Kolaborasi Modul 2.3 ini adalah saya belajar untuk menjadi
coach dalam membantu rekan sejawat (coachee) bukan hanya menemukan
solusi dari permasalahan yang dihadapi namun juga meningkatkan kompetensi
dirinya. Sebagai coach saya diharapkan dapat hadir seutuhnya, bersikap
netral, dan membuat pertanyaan-pertanyaan terbuka yang berbobot agar dapat
mendorong coachee mengeluarkan ide-ide baru untuk melakukan aksi nyata.
Demikianlah
artikel saya tentang hasil dari praktik percakapan coaching di Ruang
Kolaborasi Modul 2.3 ini. Semoga menginpiraasi untuk para pembaca.
Semangat belajar
untuk kita semua dan salam bahagia…
Bagus Bu Lisa tulisan dan karyanya informatif dan interaktif.
BalasHapus